Duhai Carolina




   37 orang sudah saudara sekampung Wonosobo dan sepuluhan ribu lainya terjangkit virus yang membuat setiap warga "diwajibkan" untuk menerapkan protokol kesehatan. Cuci tangan dan memakai masker masuk kedalam agenda yang harus dituntaskan setiap harinya, selain berbuka puasa dengan janji-janji manis. Keluar-masuk desa, kendaraan pribadi juga baiknya disiram disinfektan untuk memastikan tidak ada kuman yang ikut mbonceng.
    Virus Corona (dibaca Carolina) ini berhasil menyadarkan kembali pentingnya menjaga kebersihan. Namun, dalam penyadaran kembali itu justru manusia dibuat tidak disadarkan diri atas kesadaran bahwa mereka itu manusia. Maksud hati menghilangkan paparan virus, justru hati ini menjadi terpapar virus baru. Manusia yang terjangkiti virus baru ini akan seolah-olah bila tanpa ada corona hidupnya akan sampai ratusan bahkan ribuan tahun, sehingga bila ada orang yang meninggal karena corona, melawannya adalah jalan ninja. Mereka akan meneriaki ambulance itu untuk pergi jauh jangan sampai makam desa mereka dijadikan tempat peristirahatan terakhir bagi jenazah alumni pandemi virus corona.
    Tiba-tiba saja tanpa melalui ujian skripsi atau sebuah sidang disertasi. Semua orang termasuk saya sendiri menjadi ahli. Ahli pamdemi, ahli ekonomi, ahli religi, ahli urologi, (apalagi?). Semua terangkum dalam majelis rasan-rasan yang rutinannya mengomentari dengan nada nyinyir apapun kebijakan dari ulama' dan umaro'. Bahwa kebijakan yang diterapkan sebaik apapun ada saja celah untuk bersama-sama kita hujat. Pada titik ini kita dibuat linglung menyaksikan campur aduknya antara kebenaran dengan kebencian. Benar mana pulang kampung atau mudik sudah kehilangan kemurnian maknanya. Penafsiran ngotot tiap individu hanya berdasar pada kepentingan pribadi. Alih-alih khusu' melaksanakan sholat, kita lebih tertarik untuk memperdebatkan alasan dibalik ditiadakannya Jama'ah. Padahal sudah jelas ini terjadi agar kita sadar selama ini ke masjid hanya saat ada  pembagian daging kurban doang "Doell..".
    Baiklah, jika kita merasa sudah sering bersujud.  بسمالله الر حمن الرحيم  diucap sebagai doa agar terhindar dari berbagai musibah dan persoalan hidup. Terlebih agar  dihindarkan dari sulitnya mencicil angsuran. Ternyata musibah itu adalah kita sendiri. Kita kehilangan makna kasih-sayang dalam lafadz "rahmah-rahim" tadi. Lemparan batu, kayu, serta teriakan mengiringi penolakan sekelompok masyarakat beragama atas jenazah petugas medis yang hendak dikubur, walau nyawa sudah ditaruhkan demi masyarakat itu oleh mereka para medis. Kita mudah malu untuk terlihat sedikit saja salah didepan orang, tapi kehilangan malu dihadapan Allah yang sudah membolehkan kita hidup menikmati bumiNya. Tidak peduli sebanyak apa muntahan dosa dan nafsu manusia hingga alam dibuat rusak, Allah masih sayang. Kita seperti mengamandemen pasal syariat Tuhan bersamaan dengan hilangnya kasih-sayang tadi ketika tega-teganya menelantarkan jenazah pejuang kesehatan di garda terdepan.
    Kemudian, selain rajin mencuci tangan agaknya hati atau batin juga perlu dibersihkan. Sehingga dengan tetap mengikuti setiap anjuran dan regulasi resmi pemerintah berkaitan dengan penanganan virus corona ini. Hati menjadi lebih tenang. Hati yang tenang akan melahirkan kedamaian bersikap. Memang benar akan sangat sulit ada sebuah kebijakan yang bijaksana nihil dampak buruk kepada masyarakat. Mumet duit ntek biasa, santai mawon. Nyatanya Singa liar yang jelas adalah seekor pengangguran, tetap bisa makan 30 Kg daging segar per-hari. Yang secara logis jika kita beli 1 Kg aja niscaya klimpungan. Seharusnya, bukan "besok makan apa?" Yang membuat kita khawatir, tapi khawatirlah ketika dosa kesombongan kita tidak mendapat ampunan. Selayaknya Ibu kepada anaknya, Tuhan akan lebih paham hambanya butuh apa dan kapan. Yang bisa dilakukan sekarang hanya ikhtiar sekecil apapun bentuknya. Dengan landasan hati yang jernih dalam bertindak, mungkin dunia akan lebih sejuk. Jauh dari sikap serampangan.
    Sampai pada akhir, yang akhirnya kita menyadari bahwa solusi atas ketidakteraturan ini cukup dengan mengembalikan sepenuhnya kepada sebuah mekanisme ketetapan Tuhan. Ketidakberesan ini memang sebuah konsekuensi besar atas adanya realitas kehidupan, artinya tak perlu kemudian terlalu berlebihan menjadi khawatir. Keserasian ada karena ketidakserasian juga ada. Agar kita mengetahui entitas kebenaran perlu terlebih dulu memahami makna kesalahan. Kemudian yang perlu kita lakukan yakni mengosongkan hati dari berbagai tendensi materi fisik duniawi, taruhlah bumi sebatas di telapak tangan, jangan sampai punya niatan lebih-lebih tindakan untuk menelan.
 


   Ingat! Kata Bang Napi kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tapi juga adanya kesempatan. Jangan beri kesempatan kuman mengotori tangan dan hati.

Komentar

Postingan Populer